Mendengar kata ‘Laskar Pelangi’, benak kita tentu akan tertuju pada
novel tetralogi karangan Andrea Hirata yang rilis tiga tahun lalu.
Suksesnya Laskar Pelangi yang mengangkat kehidupan kaum pinggiran nan
miskin dan terlupakan di Pulau Belitong (sekarang Provinsi Bangka
Belitung) menjadikan tokoh Ikal, Lintang, Mahar dkk sebagai
pahlawan-pahlawan baru menggantikan tokoh `si Cowok Idaman’ dalam
kebanyakan karya teenlit atau tokoh `Nayla si Trauma Seks’dalam
kebanyakan sastra kelamin saat ini. Maka tak heran, bila sejumlah
kritikus sastra memandang Laskar Pelangi sebagai fenomena baru, baik di
ranah kesusastraan maupun perfilman nasional.Dalam latar kisah sekolah
rekaan Andreainilah kita akan menemukan representasi mengkhawatirkan
tentang praktik pendidikan formal di Indonesia yang kini tengah menuju
pada `kematiannya’ .
PendidikanYang Mana
Sejatinya, pendidikan formal bertujuan membawa manusia keluar dari
kungkungan kebodohan (emansipatoris) . Dengan menguasai ilmu pengetahuan
secara sistematis, rasional dan bersifat ilmiah, manusia dituntut untuk
meninggalkan segala sumber pengetahuan manusia di masa lalu seperti
mitos dan tradisi yang tidak rasional dan takhayul.
Maka dengan segala intelektualitas dan pengetahuannya itu, seorang
manusia terdidik diharapkan mampu mendapatkan pengetahuan yang lebih
baik tentang dunia dan mencapai kehidupan yang lebih baik baginya di
masa depan. Hal inilah yang direpresentasikan Andrea dalam Laskar
Pelangi lewat tuturan tokoh orangtua Lintang pada kalimat berikut:
“Ayahnya . . . menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah
keputusan yang tepat . . . ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka
dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit
bernapas.“(Laskar Pelangi, halaman 95)
Maksud kalimat ini tentu sangat jelas. Tokoh ayah dan ibu Lintang
percaya bahwa dengan menyekolahkan anaknya tersebut, Lintang akan
membawa nasib keluarganya menjadi lebih baik di masa depan. Semangat
Lintang bersekolah juga digambarkan dengan menempuh perjalanan sejauh
empat puluh kilometer dari rumahnya di Tanjong Kelumpang menuju sekolah
menggunakan sepeda sejak subuh hari.
Tempat Lintang dan kawan-kawannya bersekolah pun direpresentasikan
dengan ideal oleh Andrea. Di sekolah yang mirip `gudang kopra’ itu,
pendidikan yang diajarkan SD Muhammadiyah tidak semata berdasarkan
standar kurikulum nasional, tetapi juga pendidikan moral, budi pekerti
dan agama.
Simak kutipan berikut yang merupakan komentar tokoh Ikal mengenai Bu Mus:
`Beliau sendiri yang menyusun silabus pelajaran Budi Pekerti dan
mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral,
demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi . . . Kami diajarkan
menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena
kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di
sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal
yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya
atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.‘(LP, hal 30-31)
Dari kutipan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang
kualitas seseorang yang berpendidikan tidak hanya diukur dengan nilai
ujian dan angka di rapornya. Pendidikan yang baik mestilah
menyeimbangkan pelajaran ilmu pasti dengan tuntunan agama, perilaku
moral dan budi pekerti. Dan pendidikan model begini tentu akan mencetak
manusia-manusia yang tak hanya encer otaknya, tapi juga memiliki
mentalitas yang baik di kepribadiannya.
Kawan-kawan pembaca tentu akan setuju dengan saya bahwa memang
begitulah seharusnya pendidikan formal dipraktikkan. Dan Andrea, lewat
fiksinya tengah mengimajinasikan sebuah sekolah dengan konsep pendidikan
ideal yang sejalan dengan semangat emansipatoris tadi.
Andrea Hirata dan Masalah Pendidikan
Adalah Iwan Simatupang, seorang tokoh sastra angkatan 70 yang
menghabiskan hari-hari terakhirnya di kota Bogor, mengatakan demikian:
`Pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya,
perbuatannya, pemikirannya, secara inhaerent memantulkan kembali
pertautan dirinya dengan tanah air’ (2004:337)
Dalam kata lain, kehidupan seorang pengarang akan selalu dipengaruhi
lingkungan sosial-budaya dan bangsa dimana ia hidup. Sehingga apapun
persoalan yang tertuang dalam karyanya kelak, seringkali merupakan hasil
refleksi pengetahuan dan pengalaman hidupnya atas lingkungannya.
Maka di sinilah saya hendak menempatkan Andrea sebagai seorang
pengarang yang tentu tak lepas dari pengaruh lingkungannya. Khususnya
mengenai cara pandang Andrea terhadap permasalahan pendidikan di
Indonesia, yang kemudian direpresentasikanny a dalam bentuk fiksi lewat
Laskar Pelangi.
Di banyak referensi, kita akan menemui keterangan bahwa Andrea
memiliki minat terhadap sains dan dunia pendidikan. Alih-alih sebagai
novelis, ia mengaku lebih suka mengidentikkan dirinya sebagai seorang
akademisi. Maka tak heran bila dalam Laskar Pelangi terdapat banyak
kalimat dengan `bumbu-bumbu’ ilmiah yang dipadukannya dengan kisah-kisah
sederhana nan memikat.
Menyimak halaman persembahan dalam buku Laskar Pelangi yang
ditujukannya untuk dua orang guru masa kecilnya (Muslimah Hafsari dan
Harfan Effeny Noor), tampak bahwa dua orang ini tak sekedar tokoh fiksi
Laskar Pelangi dalam imajinasi Andrea, tapi juga ada dalam pengetahuan
dan pengalaman hidup Andrea sebagai pengarang.
Maka bisa ditafsirkan pula bahwa Andrea merupakan anak ideologis
hasil pendidikan ideal ala SD Muhammadiyah di Belitong. Tak keliru bila
kita paham bahwa pendidikan ideal tersebut memang benar-benar ada di
kehidupan nyata, khususnya kehidupan yang dialami Andrea.
Berangkat dari sinilah, saya menemukan fakta mengkhawatirkan tentang
wajah pendidikan formal bangsa kita dewasa ini yang kian jauh dari
representasi Andrea tentang pendidikan ideal. Alih-alih menjalankan
fungsi emansipatorisnya, wajah pendidikan formal yang dipraktikkan
bangsa ini adalah wajah yang bertopeng dalam kepura-puraan dan sangat
menakutkan.
Matinya Pendidikan Kita
Sebelum kita melanjutkan bahasan berikut, perlu dipahami kawan-kawan
pembaca bahwa kata ‘mati’ yang saya gunakan di sini bukanlah kematian
secara fisik, namun ia merupakan metafora yang saya gunakan untuk
melukiskan kecenderungan di mana fungsi emansipatoris dalam pendidikan
kian menjadi tumpul.
Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi/
penyelenggara pendidikan di Indonesia kini tengah gencar memproduksi
lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja. Sehingga dalam
jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa
memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.
Jutaan pelajar lulusan sekolah menengah juga kini tengah
mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang
singkat,dan setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini
sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih
dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
Namun saya sebut ini sebagai ketumpulan fungsi emansipatoris
pendidikan yang kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab ia
membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah
manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun
bergaji besar. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang
untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah.
Kini kian jelas bahwa, pendidikan emansipatoris yang tadinya
bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai
budi pekerti yang baik,kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis nan
materialistis.
Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas
kita, catatan-catatan pelajaran kita, buku-buku praktikum yang wajib
kita baca, hingga menjangkit ke pola pikir kita yang memandangfungsi
kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang emansipatoris,
tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari duit dan menjadi
robot-robot pekerja yang baik.
Sekali lagi saya tekankan betapa konsep pendidikan yang link and
match seperti ini sebagai indikasi matinya pendidikan, sebab lahan kerja
yang kelak menyerap tenaga kerja berpendidikan bertujuan pada orientasi
bisnis perusahaan (baca: kapitalis) semata, dan bukan berorientasi pada
perbaikan struktur dan kultural masyarakat Indonesia. Terlebih lagi,
pendidikan link and match model begini, menurut hemat penulis akan
semakin menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, kemanusiaan,
spiritualitas, dan mentalitas-mentalit as generasi muda Indonesia masa
depan.
Pendidikan yang seharusnya dibangun berlandaskan nilai-nilai
objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan (virtue)
sebagai nilai dasar dalam ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh
nilai-nilai komersial sebagai ajang pencarian keuntungan (profit)
semata. Inilah wajah pendidikan kita yang lebih tunduk pada kekuasaan
kapital daripada kebenaran ilmiah dan moral kebangsaan.
Penutup
Apa yang terungkap pada uraian di atas memang terasa ganjil,
problematis dan ironis bagi kelangsungan generasi muda intelektual kita
saat ini yang membutuhkan kejujuran dunia ilmu pengetahuan. Betapa
tidak, kita semua –mau tak mau– adalah bagian dari anak-anak peradaban
yang terlanjur lahir dalam sebuah pendangkalan, pemassalan dan
komersialisme sebagai praktik pendidikan mutakhir bangsa ini.
Drama matinya pendidikan inilah yang saya tangkap dari pengalaman
saya ketika membaca Laskar Pelangi. Sungguh-sungguh sebuah drama yang
ditutup dengan ironi ketika tokoh Ikal bertemu dengan Lintang pada dua
belas tahun kemudian. Lintang dengan kecerdasan mengagumkan seorang anak
pesisir miskin, mesti mengujungkan nasibnya sebagai supir truk pasir di
Belitong.
Walhasil, membaca Laskar Pelangi juga membawa saya hanyut dalam
perasaan yang sama seperti yang tokoh Ikal ucapkan di penghujung novel
ini:
`Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku
marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus
berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh
sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang
menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.‘ (LP,hal 472)
Maka sebagai penutup, dengan ditulisnya esai ini saya memang tidak
sedang mengajukan pemikiran jitu nan tokcer demi mengatasi permasalahan
pendidikan tersebut. Esai ini lebih berniat menjadi apresiasi bagi
Andrea dan para sastrawan lainnya yang tak hanya lihat dalam
berkata-kata, tapi juga peka dengan permasalahan dan kondisi zamannya.
Mungkin juga ini saatnya kita meninggalkan gaya menulis kita yang
melulu berkisah tentang pencarian diri, cinta picisan, ataupun seks.
Mari menulis seperti Andrea yang menulis novel tak hanya untuk diri
sendiri dan sekedar meraih keuntungan materi, namun juga berkarya untuk
membangkitkan kesadaran pembacanya akan perkembangan pendidikan di
Indonesia.
Matinya pendidikan di Indonesia mungkin baru kita rasakan sebagian
kecil saja, tapi jelas bahwa ia patut untuk diwacanakan secara luas.
Kecuali pada suatu nanti di masa depan, siap-siap saja kita dengar
lonceng kematian ilmu pengetahuan dan praktik pendidikan berkumandang;
lonceng kematian yang dikumandangkan sebagai tanda kemenangan pasar atas
wafatnya rasionalitas intelektual bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar