Senin, 21 Mei 2012

Laskar Pelangi Dan Fenomena Pendidikan Kita

0 komentar

Mendengar kata ‘Laskar Pelangi’, benak kita tentu akan tertuju pada novel tetralogi karangan Andrea Hirata yang rilis tiga tahun lalu. Suksesnya Laskar Pelangi yang mengangkat kehidupan kaum pinggiran nan miskin dan terlupakan di Pulau Belitong (sekarang Provinsi Bangka Belitung) menjadikan tokoh Ikal, Lintang, Mahar dkk sebagai pahlawan-pahlawan baru menggantikan tokoh `si Cowok Idaman’ dalam kebanyakan karya teenlit atau tokoh `Nayla si Trauma Seks’dalam kebanyakan sastra kelamin saat ini. Maka tak heran, bila sejumlah kritikus sastra memandang Laskar Pelangi sebagai fenomena baru, baik di ranah kesusastraan maupun perfilman nasional.Dalam latar kisah sekolah rekaan Andreainilah kita akan menemukan representasi mengkhawatirkan tentang praktik pendidikan formal di Indonesia yang kini tengah menuju pada `kematiannya’ . 

PendidikanYang Mana 
Sejatinya, pendidikan formal bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan (emansipatoris) . Dengan menguasai ilmu pengetahuan secara sistematis, rasional dan bersifat ilmiah, manusia dituntut untuk meninggalkan segala sumber pengetahuan manusia di masa lalu seperti mitos dan tradisi yang tidak rasional dan takhayul.

Maka dengan segala intelektualitas dan pengetahuannya itu, seorang manusia terdidik diharapkan mampu mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang dunia dan mencapai kehidupan yang lebih baik baginya di masa depan. Hal inilah yang direpresentasikan Andrea dalam Laskar Pelangi lewat tuturan tokoh orangtua Lintang pada kalimat berikut:
“Ayahnya . . . menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat . . . ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas.“(Laskar Pelangi, halaman 95)
Maksud kalimat ini tentu sangat jelas. Tokoh ayah dan ibu Lintang percaya bahwa dengan menyekolahkan anaknya tersebut, Lintang akan membawa nasib keluarganya menjadi lebih baik di masa depan. Semangat Lintang bersekolah juga digambarkan dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh kilometer dari rumahnya di Tanjong Kelumpang menuju sekolah menggunakan sepeda sejak subuh hari.
Tempat Lintang dan kawan-kawannya bersekolah pun direpresentasikan dengan ideal oleh Andrea. Di sekolah yang mirip `gudang kopra’ itu, pendidikan yang diajarkan SD Muhammadiyah tidak semata berdasarkan standar kurikulum nasional, tetapi juga pendidikan moral, budi pekerti dan agama.
Simak kutipan berikut yang merupakan komentar tokoh Ikal mengenai Bu Mus:
`Beliau sendiri yang menyusun silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi . . . Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.‘(LP, hal 30-31)

Dari kutipan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang kualitas seseorang yang berpendidikan tidak hanya diukur dengan nilai ujian dan angka di rapornya. Pendidikan yang baik mestilah menyeimbangkan pelajaran ilmu pasti dengan tuntunan agama, perilaku moral dan budi pekerti. Dan pendidikan model begini tentu akan mencetak manusia-manusia yang tak hanya encer otaknya, tapi juga memiliki mentalitas yang baik di kepribadiannya.
Kawan-kawan pembaca tentu akan setuju dengan saya bahwa memang begitulah seharusnya pendidikan formal dipraktikkan. Dan Andrea, lewat fiksinya tengah mengimajinasikan sebuah sekolah dengan konsep pendidikan ideal yang sejalan dengan semangat emansipatoris tadi.
Andrea Hirata dan Masalah Pendidikan
Adalah Iwan Simatupang, seorang tokoh sastra angkatan 70 yang menghabiskan hari-hari terakhirnya di kota Bogor, mengatakan demikian: `Pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya, perbuatannya, pemikirannya, secara inhaerent memantulkan kembali pertautan dirinya dengan tanah air’ (2004:337)
Dalam kata lain, kehidupan seorang pengarang akan selalu dipengaruhi lingkungan sosial-budaya dan bangsa dimana ia hidup. Sehingga apapun persoalan yang tertuang dalam karyanya kelak, seringkali merupakan hasil refleksi pengetahuan dan pengalaman hidupnya atas lingkungannya.
Maka di sinilah saya hendak menempatkan Andrea sebagai seorang pengarang yang tentu tak lepas dari pengaruh lingkungannya. Khususnya mengenai cara pandang Andrea terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia, yang kemudian direpresentasikanny a dalam bentuk fiksi lewat Laskar Pelangi.
Di banyak referensi, kita akan menemui keterangan bahwa Andrea memiliki minat terhadap sains dan dunia pendidikan. Alih-alih sebagai novelis, ia mengaku lebih suka mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi. Maka tak heran bila dalam Laskar Pelangi terdapat banyak kalimat dengan `bumbu-bumbu’ ilmiah yang dipadukannya dengan kisah-kisah sederhana nan memikat.

Menyimak halaman persembahan dalam buku Laskar Pelangi yang ditujukannya untuk dua orang guru masa kecilnya (Muslimah Hafsari dan Harfan Effeny Noor), tampak bahwa dua orang ini tak sekedar tokoh fiksi Laskar Pelangi dalam imajinasi Andrea, tapi juga ada dalam pengetahuan dan pengalaman hidup Andrea sebagai pengarang.

Maka bisa ditafsirkan pula bahwa Andrea merupakan anak ideologis hasil pendidikan ideal ala SD Muhammadiyah di Belitong. Tak keliru bila kita paham bahwa pendidikan ideal tersebut memang benar-benar ada di kehidupan nyata, khususnya kehidupan yang dialami Andrea.

Berangkat dari sinilah, saya menemukan fakta mengkhawatirkan tentang wajah pendidikan formal bangsa kita dewasa ini yang kian jauh dari representasi Andrea tentang pendidikan ideal. Alih-alih menjalankan fungsi emansipatorisnya, wajah pendidikan formal yang dipraktikkan bangsa ini adalah wajah yang bertopeng dalam kepura-puraan dan sangat menakutkan.

Matinya Pendidikan Kita
Sebelum kita melanjutkan bahasan berikut, perlu dipahami kawan-kawan pembaca bahwa kata ‘mati’ yang saya gunakan di sini bukanlah kematian secara fisik, namun ia merupakan metafora yang saya gunakan untuk melukiskan kecenderungan di mana fungsi emansipatoris dalam pendidikan kian menjadi tumpul.
Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi/ penyelenggara pendidikan di Indonesia kini tengah gencar memproduksi lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja. Sehingga dalam jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.

Jutaan pelajar lulusan sekolah menengah juga kini tengah mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang singkat,dan setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.

Namun saya sebut ini sebagai ketumpulan fungsi emansipatoris pendidikan yang kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab ia membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun bergaji besar. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah.

Kini kian jelas bahwa, pendidikan emansipatoris yang tadinya bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai budi pekerti yang baik,kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis nan materialistis.

Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas kita, catatan-catatan pelajaran kita, buku-buku praktikum yang wajib kita baca, hingga menjangkit ke pola pikir kita yang memandangfungsi kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang emansipatoris, tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari duit dan menjadi robot-robot pekerja yang baik.

Sekali lagi saya tekankan betapa konsep pendidikan yang link and match seperti ini sebagai indikasi matinya pendidikan, sebab lahan kerja yang kelak menyerap tenaga kerja berpendidikan bertujuan pada orientasi bisnis perusahaan (baca: kapitalis) semata, dan bukan berorientasi pada perbaikan struktur dan kultural masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, pendidikan link and match model begini, menurut hemat penulis akan semakin menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, kemanusiaan, spiritualitas, dan mentalitas-mentalit as generasi muda Indonesia masa depan.

Pendidikan yang seharusnya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan (virtue) sebagai nilai dasar dalam ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai ajang pencarian keuntungan (profit) semata. Inilah wajah pendidikan kita yang lebih tunduk pada kekuasaan kapital daripada kebenaran ilmiah dan moral kebangsaan.

Penutup
Apa yang terungkap pada uraian di atas memang terasa ganjil, problematis dan ironis bagi kelangsungan generasi muda intelektual kita saat ini yang membutuhkan kejujuran dunia ilmu pengetahuan. Betapa tidak, kita semua –mau tak mau– adalah bagian dari anak-anak peradaban yang terlanjur lahir dalam sebuah pendangkalan, pemassalan dan komersialisme sebagai praktik pendidikan mutakhir bangsa ini.
Drama matinya pendidikan inilah yang saya tangkap dari pengalaman saya ketika membaca Laskar Pelangi. Sungguh-sungguh sebuah drama yang ditutup dengan ironi ketika tokoh Ikal bertemu dengan Lintang pada dua belas tahun kemudian. Lintang dengan kecerdasan mengagumkan seorang anak pesisir miskin, mesti mengujungkan nasibnya sebagai supir truk pasir di Belitong.

Walhasil, membaca Laskar Pelangi juga membawa saya hanyut dalam perasaan yang sama seperti yang tokoh Ikal ucapkan di penghujung novel ini:
`Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.‘ (LP,hal 472)
Maka sebagai penutup, dengan ditulisnya esai ini saya memang tidak sedang mengajukan pemikiran jitu nan tokcer demi mengatasi permasalahan pendidikan tersebut. Esai ini lebih berniat menjadi apresiasi bagi Andrea dan para sastrawan lainnya yang tak hanya lihat dalam berkata-kata, tapi juga peka dengan permasalahan dan kondisi zamannya.

Mungkin juga ini saatnya kita meninggalkan gaya menulis kita yang melulu berkisah tentang pencarian diri, cinta picisan, ataupun seks. Mari menulis seperti Andrea yang menulis novel tak hanya untuk diri sendiri dan sekedar meraih keuntungan materi, namun juga berkarya untuk membangkitkan kesadaran pembacanya akan perkembangan pendidikan di Indonesia.

Matinya pendidikan di Indonesia mungkin baru kita rasakan sebagian kecil saja, tapi jelas bahwa ia patut untuk diwacanakan secara luas. Kecuali pada suatu nanti di masa depan, siap-siap saja kita dengar lonceng kematian ilmu pengetahuan dan praktik pendidikan berkumandang; lonceng kematian yang dikumandangkan sebagai tanda kemenangan pasar atas wafatnya rasionalitas intelektual bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar